Inilah.. 9 Pasukan Khusus Indonesia!!

Kopassus merupakan pasukan terbaik ke-3 di Dunia.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Ksatrian para Kader Pemerintahan

Tempat dimana calon pemimpin pemerintahan di bentuk.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Assalamu'alikum wr.wb

Delete this widget from your Dashboard and add your own words. This is just an example!

Sabtu, 07 Juni 2014

Bukan Kami Mengekslusifkan Diri

Banyak opini yang mengatakan bahwa setelah menjadi Praja IPDN seseorang berubah dan terkesan mengeksklusifkan diri. Opini tersebut bisa benar, bisa juga tidak. Setiap orang bebas beropini, tapi izinkan saya mengemukakan opini saya sendiri disini.

Seseorang berubah ketika menjadi Praja IPDN? Ya, pasti. Bukankah perubahan itu memang menjadi fitrah manusia? Setiap saat berubah dan mencoba untuk menjadi lebih baik lagi. Bahkan alam semesta pun tidak pernah berhenti berubah setiap milidetik. Tidak ada hal yang persis sama terjadi dua kali. Semua selalu berubah.


Kami berubah ketika masuk ke IPDN itu hal yang pasti. Ketika resmi dilantik di lapang parade Kampus Jatinangor dari calon praja menjadi Muda Praja, saat itu beban kami bertambah dipundak kami bahkan beban keluarga kami juga kami tempatkan menjadi satu dipundak bersama amanah yg diberikan negara ini dan aturan baru dalam hidup kami mulai berlaku yaitu Peraturan Tata Kehidupan Praja atau yang disingkat Petadupra sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2009. Bertambah lagi satu aturan yang berlaku dan harus dipatuhi dalam hidup kami. Siklus kehidupan kami pun diatur dengan undang-undang. Bayangkan saja, dari mulai tidur sampai tidur lagi kehidupan kami diatur oleh undang-undang. Potongan rambut dan pakaian yang boleh kami pakai ada aturannya. Cara berjalan dan berbicara ada aturannya. Kapan kami boleh keluar kampus ada aturannya. Barang apa saja yang boleh kami bawa dan kami miliki di kampus ada aturannya. Bahkan cara menyusun pakaian didalam lemari pun ada aturannya. Bisa saya bilang, nyaris semua unsur kehidupan kami ada aturannya. Dari gambaran tersebut, wajar bukan kami berubah? Berubah dan berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Ada yang bilang kami banyak gaya-gayaan memakai seragam kami. Kemana-mana memakai seragam dan berjalan berkelompok sesama Praja. Bukan maksud kami mengeksklusifkan diri ataupun menyombongkan diri, tapi memang begitu aturannya. Pakaian kami selama di kampus—kurang lebih 325 hari dalam satu tahun—hanya pakaian dinas. Ya, kami hanya boleh memakai pakaian dinas selama 24 jam dalam 325 hari. Bukan kami tidak ingin memakai pakaian santai ketika jalan-jalan sejenak di mall atau tempat-tempat umum lainnya—agar tidak terkesan mengeksklusifkan diri, tapi kami tidak boleh. Kalau nekat melanggar ada sanksinya. Jangankan melanggar aturan berpakaian, melanggar aturan potongan rambut pun ada sanksinya. Rambut kami harus cepak, rapi. Untuk yang Wanita Praja juga begitu, sangat pendek, nyaris seperti potongan rambut laki-laki. Tidak jarang saya mendengar keluhan teman saya, Wanita Praja yang rindu akan rambut panjangnya, iri melihat teman-temannya yang bisa bebas memakai baju-baju yang up to date dengan aksesoris warna-warni dan rambut panjang tergerai, rekan-rekan saya, para Wanita Praja disini, tidak bisa begitu. Mereka harus rela rambutnya dipotong sangat pendek dan memakai seragam dinas, setiap hari, 24 jam, selama di kampus.


Awalnya kami semua ditempatkan di kampus IPDN Jatinangor, tapi kami harus menghadapi regionalisasi atau bisa dibilang penyebaran kampus yang terjadi pada tingkat 3 / Nindya praja. Ada 9 kemungkinan penempatan kampus untuk kami yang dibagi secara acak, yaitu :
  1.  Kampus IPDN Jatinangor (Pusat)
  2. Kampus IPDN regional Riau
  3. Kampus IPDN regional Sumatera Barat
  4. Kampus IPDN regional Kalimantan Barat
  5. Kampus IPDN regional Sulawesi Utara
  6. Kampus IPDN regional Sulawesi Selatan
  7. Kampus IPDN regional Nusa Tenggara Barat
  8. Kampus IPDN regional Papua
  9. Kampus IPDN Jakarta Selatan (IIP)

kampus IPDN Jatinangor

kampus IPDN regional Riau

kampus IPDN regional Sumbar

kampus IPDN regional Makassar

kampus IPDN regional Papua

kampus IPDN cilandak-Jakarta

         Kami tidak tahu dimana kami akan ditempatkan, kami juga tidak bisa mengelak jika ditempatkan didaerah yang jauh karena kami sudah menandatangani perjanjian siap ditempatkan dimana saja waktu awal menjadi praja, yang pasti kami akan kembali ke Kampus IPDN Jatinangor saat kami naik ke tingkat 4, menjadi Wasana Praja. Kemungkinan kami menjadi semakin jauh dari rumah selalu ada. Sekali lagi, kami harus patuh pada keputusan dan peraturan yang berlaku.

Kami kebanyakan bergaul dengan teman-teman sesama Praja, bukan maksud kami melupakan teman-teman lama diluar kampus, bukan. Setiap hari di kampus kami berinteraksi dengan orang-orang di dalam kampus, rekan-rekan sesama Praja. Otomatis interaksi yang intens itu membuat kami—saat ini—lebih dekat dengan rekan-rekan Praja. Kami jarang ikut berkumpul dengan teman-teman lain diluar kampus, bukan karena tidak mau, bukan. Jangankan untuk berkumpul bersama kawan-kawan lama, berkumpul bersama keluarga pun kami sangat jarang. Pulang ke rumah dalam setahun pun bisa dihitung dengan jari tangan, saat cuti Idul Fitri dan cuti akhir tahun.  Syukur-syukur kalau ada Izin Bermalam (IB), tapi itu tidak lama, hanya sekitar 2-4 hari, dan sangat sedikit yang bisa memanfaatkan kesempatan itu untuk pulang, biasanya hanya yang rumahnya bisa dijangkau dalam hitungan jam. Kebanyakan dari kami menempuh perjalanan pulang yang lama, bahkan bisa sampai dua hari, atau mungkin lebih. Jangankan pulang saat IB, kadang saat cuti yang lamanya 3-4 minggu pun ada yang tetap di kampus.

Lalu kenapa kadang kami tidak bisa ikut berkumpul dengan teman-teman lain—selain Praja—saat cuti? Karena saat cuti pun kami masih tetap punya tugas dinas, Mengisi surat cuti ke Badan Kepegawaian Daerah, silaturahmi bersama Purna Praja di daerah, silaturahmi dengan rekan-rekan Praja, dan lain-lain.
Waktu cuti kami tidak sepenuhnya bebas dari tugas dinas. Kami harus pintar-pintar mengatur waktu untuk keluarga, tugas dinas, teman-teman dan hal-hal lain yang tidak bisa kami lakukan selama ada di kampus. Kami mungkin jarang ikut berkumpul bersama kawan-kawan lama, bukan kami tidak ingin, tapi ketika kawan-kawan lama berkumpul mungkin ada beberapa acara yang bentrok, atau kami sedang ada tugas dinas, atau kami yang masih berada di kampus, tidak bisa ikut berkumpul. Kami jarang komunikasi, bukan kami sombong, tapi kegiatan di kampus—bahkan saat cuti—sangat padat. Interaksi dengan kawan-kawan diluar kampus hanya melalui handphone atau dunia maya. Sekali lagi bukan kami tidak ingin ikut berkumpul dan bukan maksud kami mengeksklusifkan diri, tapi begitulah kehidupan kami, banyak aturan, tugas dan tanggung jawab yang harus kami laksanakan. Kami ingin, tapi tidak bisa..

“Kujual masa mudaku pada negara, demi masa depanku”   

Ungkapan itu yang mungkin sering didengar dari Praja. Memang begitu kenyataannya. Banyak yang kami korbankan ketika kami resmi menjadi Praja. Waktu berkumpul bersama keluarga, bersama teman-teman, bahkan ‘kebebasan’ kami pun kami korbankan. Kebanyakan hanya melihat kami orang-orang yang diberi kesempatan oleh Tuhan untuk bersekolah dengan fasilitas negara dan jaminan kerja, semua serba enak. Pernyataan tersebut tidak sepenuhnya benar, setiap hal selalu seperti dua sisi mata uang, selalu ada positif dan negatifnya. Kami memang mendapatkan banyak hal disini, tapi sebagai gantinya, banyak pula hal yang kami korbankan. Tapi kami selalu percaya, semua pengorbanan kami akan berbuah hasil yang setimpal, kami percaya itu!


Lihat kami dengan cara berbeda, pahami kondisi kami dari sudut pandang lain—sudut pandang kami—bahwa kami bukan tidak mau berinteraksi dengan orang lain diluar Praja, bukan kami mengeksklusifkan diri, tapi kami hanya mencoba menjalankan aturan yang memang harus kami patuhi. Kehidupan kami tidak serba enak seperti yang dilihat orang kebanyakan, banyak yang kami korbankan dan kadang kami ingin bisa bebas tanpa terikat peraturan seperti orang lain—manusia memang sering tidak puas bukan? Menginginkan apa yang orang lain miliki. Tapi kami tahu, kami harus konsisten dan menerima konsekuensi dari apa yang kami pilih dan kesempatan yang kami dapatkan.

Sekali lagi, bukan kami mengeksklusifkan diri, kami hanya sedang berjuang untuk bertanggung jawab dalam menjalankan kesempatan dari Tuhan dan amanah dari negara—dari rakyat—untuk menjalani pendidikan disini. Kami tetap kami, orang yang sama seperti sebelum menjadi Praja, kami berubah karena kami sedang berusaha belajar dan berubah untuk menjadi lebih baik lagi, karena semuanya harus kami pertanggung jawabkan dunia dan akhirat. Bukan hanya kepada negara, tetapi tentu saja yang utama, kepada Tuhan. Itulah bentuk pengabdian yang kami berikan...


Kamis, 05 Juni 2014

Perjalanan Sekolah Pamong dari zaman OSVIA hingga IPDN





(Direktur Eksekutif Pamong Institute - Penerbit WADIpress).

PAMONG Jakarta --- Dalam sejarah pendidikan pamong praja, pendidikan pamong praja pada jaman Hindia Belanda dikenal nama sekolah dengan nama seperti OSVIA, MOSVIA, dan MBS.
Berdirinya sekolah Pamong di Indonesia tak lepas dari kepentingan penjajah Belanda untuk memenuhi kebutuhan kader-kader pemerintahan saat itu. Maka didirikanlah OSVIA (Opleiding School Voor InlandscheAmbtenaren).Sekolah ini khusus untuk pendidikan bagi pegawai-pegawai bumiputra pada jaman Belanda. Setelah lulus mereka dipekerjakan dalam pemerintahan kolonial sebagai pamong praja. Sekolah ini dimasukkan ke dalam sekolah ketrampilan tingkat menengah dan mempelajari soal-soal administrasi pemerintahan. 
Masa belajarnya lima tahun, tapi tahun 1908 masa belajar ditambah menjadi tujuh tahun. Pada umumnya murid yang diterima di sekolah ini berusia 12-16 tahun. Sebelumnya sekolah OSVIA bernama Hoofden School (sekolah para pernimpin).Sekolah ini tersebar di P. Jawa, masing-masing di Bandung, Magelang, dan Probolinggo. Tahun 1900 sekolah-sekolah ini mengalami reorganisasi dan diberi nama baru, yakni OSVIA. Di Bandung, sebagian muridnya berasal dari Jawa Barat. OSVIA Magelang, menarik siswa-siswa dari Jawa Tengah, sedangkan OSVIA Probolinggo bagi siswa dari Jawa Timur. Soal keturunan merupakan faktor penting dalam penerimaan siswa di OSVIA. 
Hal ini ditetapkan dalam suatu peraturan yang dikeluarkan tahun 1919 oleh pemerintah Belanda. Meskipun uang pembayaran sekolah disesuaikan dengan penghasilan orang tua, bagi keluarga berpenghasilan rendah yang menyekolahkan anaknya d OSVIA biaya itu tetap dirasakan mahal. Penerimaan siswa sering harus disertai surat rekomendasi pribadi pejabat Binenlandsch Bestuur (BB) dan para bupati. Bupati-bupati itu dapat menggunakan haknya untuk mengajukan sanak saudaranya dan orang-orang yang disukainya. Mungkinkah ini masih berlaku hingga saat ini?Pada tahun 1900, OSVIA membuka cabang bam di tiga tempat, yakni Serang, Madiun, dan Blitar. Pembukaan cabang bam itu dilakukan karena jumlah murid OSVIA meningkat dua kali lipat. Para lulusan siswa OSVIA sebagian mempunyai peranan sebagai pemimpin dalam gerakan-gerakan untuk memperbarui korps pegawai pada masa pemerintahan kolonial. Di samping itu, di antara mereka ada yang terjun dalam pergerakan Nasional, seperti HOS Tjokroaminoto sebagai tokoh Serikat Islam (SI) dan Soetardjo Arthohadikoesoemo yang bergabung dalam organisasi Budi Utomo (BU).




Pada tahun 1927 seluruh cabang OSVIA digabungkan menjadi MOSVIA (Middelbare Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren) yang berpusat di Magelang. Pada bulan Oktober 1969 para lulusan OSVIA dan lembaga pendidikan lainnya, seperti Bestuur school menyelenggarakan reuni. Dalam reuni ini mereka membicarakan Rencana Pembangunan Lima Tahun Orde Baru. Beberapa di antara mereka masih mengenakan bintang.Sekolah kepamongprajaan di Indonesia telah ada semenjak Pemerintahan Hindia Belanda, itupun tidak semua orang dapat bersekolah di sekolah ini . hanya orang-orang dari kalangan tertentu saja yang dapat bersekolah disana.

Pada mulanya, pemerintahan Hindia Belanda membangun perguruan tinggi pertama di Indonesia yang berada di pulau Jawa. Pada tahun 1878, telah didirikan sekolah pimpinan pemerintahan (Hoofden-schollen). Pada mulanya sekolah ini hanya diperuntukan bagi anak-anak kaum bangsawan (elite) tetapi kemudian menjadi lembaga pendidikan para pegawai pemerintahan pribumi atau ambtenar yang pada masa itu lebih dikenal sebagai sekolah pangreh praja dan hanya mendapat akreditas A saja.






Pada tahun 1879 di Bandung, pemerintahan Hindia Belanda mendirikan Opleidings-school Voor Indlandsche ambtenaren (OSVIA) yang pendidikannya selama lima tahun. Saat itu kalangan penduduk pribumi menyebutnya sebagai “Sukola Menak” maklum, murid sekolah itu adalah anak para priyayi sepeti bupati, patih dan wedana. Murid OSVIA adalah lulusan sekolah dasar atau disebut juga HIS. Setelah OSVIA, Belanda juga kemudian membuka Middlebare Besture School atau MBS yang bertempat di kota Malang-Jatim.
Sekolah Pamong yang didirikan oleh pemerntah Indonesia secara resmi yaitu Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) dengan direktur pertamanya Dr. Raspio Woerjadiningrat yang diresmikan oleh presiden RI Ir. Soekarno. Pertama kalinya APDN didirikan pada tanggal 1 Maret 1956 di Malang Jatim. Pendirian ini berdasarkan SK Mendagri No. Pend. 1/20/565 tanggal 24 September 1956.
Karena belum ada yang menampung untuk melanjutkan pendidikan ketingkat yang lebihtinggi setelah lulus dari APDN maka pada tanggal 25 Mei 1967 APDN diubah menjadi Institut Ilmu Pemerintahan (IIP). Sekolah yang masih balita itu akhirnya IIP malang dipindahkan ke Jakarta pada tahun 1971.




Kebutuhan akan tenaga aparatur pemerintahan tiap daerah sangat pesat, maka sejak tahun 1965 satu demi satu didirikan APDN diberbagai provinsi. Pada tahun 1970 telah berdiri APDN diseluruh nusantara dengan lokasi sebagai berikut, Banda Aceh, Medan, Bukit tinggi, Pekan baru, Jambi, Palembang, Tanjung karang, Bandung, Semarang, Malang, Mataram, Kupang, Ujung Pandang, Menado, Pontianak, Banjar masin, Palangkaraya, Samarinda, Ambon dan Jayapura. Namun ternyata kehadiran APDN di dua puluh provinsi mengundang banyak kontroversi dari berbagai kalangan, di mana muncul anggapan bahwa kualitas dan profesionalisme lulusan APDN daerah tidak merata dan tidak seimbang diakibatkan tidak samanya kualitas pendidik dan tidak meratanya sarana dan prasarana pendukung bagi pelaksanaan pendidikan kedinasan. Dalam perjalanannya APDN Sampai dengan tahun 1991 yaitu tahun alumnus terakhir dan berakhirnya opereasi APDN telah menghasilkan 27.710 alumnus APDN yang penempatannya tersebar di 27 provinsi. Selanjutnya, untuk menyamakan pola pendidikan APDN dikeluarkanlah Kep Mendagri No. 38 Tahun 1988 tentang pembentukan APDN yang bersifat nasional yang dipusatkan di Jatinangor, Sumedang, jawa barat.Seiring berjalannya waktu dan perkembangan kebutuhan masyarakat, maka APDN nasional berubah menjadi STPDN hingga kini bernama IPDN. Sangat mungkin di masa mendatang akan berubah lagi sesuai kebutuhan masyarakat.... (Roky almaro)


Pengunjung