Banyak opini yang mengatakan bahwa
setelah menjadi Praja IPDN seseorang berubah dan terkesan mengeksklusifkan
diri. Opini tersebut bisa benar, bisa juga tidak. Setiap orang bebas beropini,
tapi izinkan saya mengemukakan opini saya sendiri disini.
Seseorang berubah ketika menjadi Praja
IPDN? Ya, pasti. Bukankah perubahan itu memang menjadi fitrah manusia? Setiap
saat berubah dan mencoba untuk menjadi lebih baik lagi. Bahkan alam semesta pun
tidak pernah berhenti berubah setiap milidetik. Tidak ada hal yang persis sama
terjadi dua kali. Semua selalu berubah.
Kami berubah ketika masuk ke IPDN itu
hal yang pasti. Ketika resmi dilantik di lapang parade Kampus Jatinangor dari
calon praja menjadi Muda Praja, saat itu beban kami bertambah dipundak kami
bahkan beban keluarga kami juga kami tempatkan menjadi satu dipundak bersama amanah yg diberikan negara ini dan aturan baru dalam hidup kami mulai
berlaku yaitu Peraturan Tata Kehidupan Praja atau yang disingkat Petadupra sesuai dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 46 Tahun 2009. Bertambah lagi satu aturan yang
berlaku dan harus dipatuhi dalam hidup kami. Siklus kehidupan kami pun diatur
dengan undang-undang. Bayangkan saja, dari mulai tidur sampai tidur lagi kehidupan
kami diatur oleh undang-undang. Potongan rambut dan pakaian yang boleh kami
pakai ada aturannya. Cara berjalan dan berbicara ada aturannya. Kapan kami
boleh keluar kampus ada aturannya. Barang apa saja yang boleh kami bawa dan
kami miliki di kampus ada aturannya. Bahkan cara menyusun pakaian didalam
lemari pun ada aturannya. Bisa saya bilang, nyaris semua unsur kehidupan kami
ada aturannya. Dari gambaran tersebut, wajar bukan kami berubah? Berubah dan
berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Ada yang bilang kami banyak
gaya-gayaan memakai seragam kami. Kemana-mana memakai seragam dan berjalan
berkelompok sesama Praja. Bukan maksud kami mengeksklusifkan diri ataupun
menyombongkan diri, tapi memang begitu aturannya. Pakaian kami selama di
kampus—kurang lebih 325 hari dalam satu tahun—hanya pakaian dinas. Ya, kami
hanya boleh memakai pakaian dinas selama 24 jam dalam 325 hari. Bukan kami
tidak ingin memakai pakaian santai ketika jalan-jalan sejenak di mall atau
tempat-tempat umum lainnya—agar tidak terkesan mengeksklusifkan diri, tapi kami
tidak boleh. Kalau nekat melanggar ada sanksinya. Jangankan melanggar aturan
berpakaian, melanggar aturan potongan rambut pun ada sanksinya. Rambut kami
harus cepak, rapi. Untuk yang Wanita Praja juga begitu, sangat pendek, nyaris
seperti potongan rambut laki-laki. Tidak jarang saya mendengar keluhan teman
saya, Wanita Praja yang rindu akan rambut panjangnya, iri melihat
teman-temannya yang bisa bebas memakai baju-baju yang up to date dengan
aksesoris warna-warni dan rambut panjang tergerai, rekan-rekan saya, para
Wanita Praja disini, tidak bisa begitu. Mereka harus rela rambutnya dipotong
sangat pendek dan memakai seragam dinas, setiap hari, 24 jam, selama di kampus.
Awalnya kami semua ditempatkan di
kampus IPDN Jatinangor, tapi kami harus menghadapi regionalisasi atau bisa
dibilang penyebaran kampus yang terjadi pada tingkat 3 / Nindya praja. Ada 9
kemungkinan penempatan kampus untuk kami yang dibagi secara acak, yaitu :
- Kampus IPDN Jatinangor (Pusat)
- Kampus IPDN regional Riau
- Kampus IPDN regional Sumatera Barat
- Kampus IPDN regional Kalimantan Barat
- Kampus IPDN regional Sulawesi Utara
- Kampus IPDN regional Sulawesi Selatan
- Kampus IPDN regional Nusa Tenggara Barat
- Kampus IPDN regional Papua
- Kampus IPDN Jakarta Selatan (IIP)
kampus IPDN Jatinangor
kampus IPDN regional Riau
kampus IPDN regional Sumbar
kampus IPDN regional Makassar
kampus IPDN regional Papua
kampus IPDN cilandak-Jakarta
Kami tidak tahu dimana kami akan
ditempatkan, kami juga tidak bisa mengelak jika ditempatkan didaerah yang jauh
karena kami sudah menandatangani perjanjian siap ditempatkan dimana saja waktu
awal menjadi praja, yang pasti kami akan kembali ke Kampus IPDN Jatinangor saat
kami naik ke tingkat 4, menjadi Wasana Praja. Kemungkinan kami menjadi semakin
jauh dari rumah selalu ada. Sekali lagi, kami harus patuh pada keputusan dan
peraturan yang berlaku.
Kami kebanyakan bergaul dengan
teman-teman sesama Praja, bukan maksud kami melupakan teman-teman lama diluar
kampus, bukan. Setiap hari di kampus kami berinteraksi dengan orang-orang di
dalam kampus, rekan-rekan sesama Praja. Otomatis interaksi yang intens itu
membuat kami—saat ini—lebih dekat dengan rekan-rekan Praja. Kami jarang ikut
berkumpul dengan teman-teman lain diluar kampus, bukan karena tidak mau, bukan.
Jangankan untuk berkumpul bersama kawan-kawan lama, berkumpul bersama keluarga
pun kami sangat jarang. Pulang ke rumah dalam setahun pun bisa dihitung dengan
jari tangan, saat cuti Idul Fitri dan cuti akhir tahun. Syukur-syukur kalau ada Izin Bermalam (IB),
tapi itu tidak lama, hanya sekitar 2-4 hari, dan sangat sedikit yang bisa
memanfaatkan kesempatan itu untuk pulang, biasanya hanya yang rumahnya bisa
dijangkau dalam hitungan jam. Kebanyakan dari kami menempuh perjalanan pulang
yang lama, bahkan bisa sampai dua hari, atau mungkin lebih. Jangankan pulang
saat IB, kadang saat cuti yang lamanya 3-4 minggu pun ada yang tetap di kampus.
Lalu kenapa kadang kami tidak bisa
ikut berkumpul dengan teman-teman lain—selain Praja—saat cuti? Karena saat cuti
pun kami masih tetap punya tugas dinas, Mengisi surat cuti ke Badan Kepegawaian
Daerah, silaturahmi bersama Purna Praja di daerah, silaturahmi dengan
rekan-rekan Praja, dan lain-lain.
Waktu cuti kami tidak sepenuhnya bebas
dari tugas dinas. Kami harus pintar-pintar mengatur waktu untuk keluarga, tugas
dinas, teman-teman dan hal-hal lain yang tidak bisa kami lakukan selama ada di
kampus. Kami mungkin jarang ikut berkumpul bersama kawan-kawan lama, bukan kami
tidak ingin, tapi ketika kawan-kawan lama berkumpul mungkin ada beberapa acara
yang bentrok, atau kami sedang ada tugas dinas, atau kami yang masih berada di
kampus, tidak bisa ikut berkumpul. Kami jarang komunikasi, bukan kami sombong,
tapi kegiatan di kampus—bahkan saat cuti—sangat padat. Interaksi dengan
kawan-kawan diluar kampus hanya melalui handphone atau dunia maya. Sekali lagi
bukan kami tidak ingin ikut berkumpul dan bukan maksud kami mengeksklusifkan
diri, tapi begitulah kehidupan kami, banyak aturan, tugas dan tanggung jawab
yang harus kami laksanakan. Kami ingin, tapi tidak bisa..
“Kujual
masa mudaku pada negara, demi masa depanku”
Ungkapan itu yang mungkin sering
didengar dari Praja. Memang begitu kenyataannya. Banyak yang kami korbankan
ketika kami resmi menjadi Praja. Waktu berkumpul bersama keluarga, bersama
teman-teman, bahkan ‘kebebasan’ kami pun kami korbankan. Kebanyakan hanya
melihat kami orang-orang yang diberi kesempatan oleh Tuhan untuk bersekolah
dengan fasilitas negara dan jaminan kerja, semua serba enak. Pernyataan
tersebut tidak sepenuhnya benar, setiap hal selalu seperti dua sisi mata uang,
selalu ada positif dan negatifnya. Kami memang mendapatkan banyak hal disini,
tapi sebagai gantinya, banyak pula hal yang kami korbankan. Tapi kami selalu
percaya, semua pengorbanan kami akan berbuah hasil yang setimpal, kami percaya
itu!
Lihat kami dengan cara berbeda, pahami
kondisi kami dari sudut pandang lain—sudut pandang kami—bahwa kami bukan tidak
mau berinteraksi dengan orang lain diluar Praja, bukan kami mengeksklusifkan
diri, tapi kami hanya mencoba menjalankan aturan yang memang harus kami patuhi.
Kehidupan kami tidak serba enak seperti yang dilihat orang kebanyakan, banyak
yang kami korbankan dan kadang kami ingin bisa bebas tanpa terikat peraturan
seperti orang lain—manusia memang sering tidak puas bukan? Menginginkan apa
yang orang lain miliki. Tapi kami tahu, kami harus konsisten dan menerima
konsekuensi dari apa yang kami pilih dan kesempatan yang kami dapatkan.
Sekali lagi, bukan kami
mengeksklusifkan diri, kami hanya sedang berjuang untuk bertanggung jawab dalam
menjalankan kesempatan dari Tuhan dan amanah dari negara—dari rakyat—untuk
menjalani pendidikan disini. Kami tetap kami, orang yang sama seperti sebelum
menjadi Praja, kami berubah karena kami sedang berusaha belajar dan berubah
untuk menjadi lebih baik lagi, karena semuanya harus kami pertanggung jawabkan
dunia dan akhirat. Bukan hanya kepada negara, tetapi tentu saja yang utama,
kepada Tuhan. Itulah bentuk pengabdian yang kami berikan...